Our site is moved here
Blog Mbah Dinan

Minggu, 10 Agustus 2014

Konsep Tiga Dunia Dayak Kanayatn

Sistem kepercayaan asli Indonesia lama bersumber pada dualisme semua hal-ihwal, baik yang metakosmos, makrokosmos, dan mikrokosmos. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia gaib dan merupakan realitas dikotomi alam diwujudkan dalam bentuk spiritual, yaitu merealisasikan bentuk yang “ada” secara abstrak dalam pemikiran maupun batin manusia, dan mewujudkannya dalam bentuk tingkah laku, seperti ritual ka’ Panyugu (ritual ke panyugu), tarian, musik, mantra, upacara dan lain sebagainya. Selain itu semua yang dipercaya “ada”, seperti dunia gaib dilambangkan dalam suatu bentuk khusus, yaitu dalam bentuk material untuk menggambarkan sesuatu yang “ada” secara nyata di dunia manusia. Lambang material ini dapat berupa pantak, sesaji, tari, alat musik, jimat, dan properti lainnya yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan sesuatu yang “ada” tersebut.

Semua yang dipercaya “ada” terdiri dari dua kembaran oposisional. Segala hal memiliki pasangan oposisinya, sehingga menimbulkan konflik dari yang satu terhadap lainnya. Kenyataan ini tidak dapat dibiarkan, karena yang satu dapat mengalahkan yang lain dan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup manusia di alam nyata. Konflik dua oposisi ini pada dasarnya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi selalu berada pada posisi bertentangan. Oleh karena itu harus dicarikan pemecahan harmoni untuk membiarkan keduanya tetap berada dalam keselarasan (Jakob Sumardjo, 2002: 151). Salah satu cara mewujudkan keharmonisan tersebut adalah melakukan hubungan dengan dunia gaib melalui upacara yang di dalamnya terdapat berbagai simbol. Simbol-simbol inilah yang diditransformasikan pada alat musik atau tingkah laku dalam upacara.

Alam pemikiran masyarakat Dayak Kanayatn menganggap bahwa benda sebagai simbol itu tidak harus mempunyai hubungan dengan empiri, tetapi langsung berhubungan dengan arti idea dan spiritualnya. Artinya lambang-lambang geometrik (berhubungan dengan alam) dan mimetik (tiruan, seperti pantak) secara material tidak harus dihubungkan dengan arti empiriknya atau bentuknya secara harafiah. Hal ini yang menjadi penyebab banyak ragam hias atau ornamen dan bentuk lambang material umumnya dipakai sebagai lambang agama asli dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Banyaknya bentuk penyimbolan secara material tidak menutup kemungkinan meniru bentuk-bentuk empirik, seperti bentuk manusia, gambar binatang, motif, bahkan dalam bentuk alat musik.

Konsep tiga dunia dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn juga terdapat pada alam nyata. Binatang yang hidup di air merupakan realitas Dunia Bawah. Manusia, binatang yang hidup di darat, dan tumbuh-tumbuhan merupakan realitas Dunia Tengah, sedangkan realitas Dunia Atas dilambangkan dengan burung Enggang. Keterkaiatan ketiga dunia tersebut memerlukan sebuah penghubung, baik dalam bentuk abstrak maupun bentuk nyata, seperti perbuatan (usaha) dan peralatan untuk mendukung usaha tersebut. Sebagai contoh manusia bercocok tanam, maka ia harus mengolah tanah untuk ditanami. Manusia juga memerlukan peralatan, salah satunya adalah alat tugal untuk membuat lubang yang akan disisi dengan bulir-bulit padi. Setelah proses bercocok tanam, maka ada hasil untuk dimakan. Makanan inilah yang dapat memuaskan rasa lapar manusia. Begitu pula dengan intrumen yang dapat diartikan sebagai tanah yang memerlukan usaha untuk menghasilkan musik. Usaha berupa tingkah laku musikal, seperti menabuh dengan teknik-teknik tertentu. Selanjutnya manusia memerlukan alat tabuh untuk menunjang pekerjaannya dalam mengolah musik. Alat tabuh itu dipukulkan pada instrumen agar dapat menghasilkan nada-nada. Setelah itu barulah tercipta sebuah musik yang dapat memuaskan dahaga akan nilai keindahan. Bunyi-bunyi ini harus tertata dengan rapi agar indah didengar, seperti keselarasan bercocok tanam dan tingkah laku religius yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut, agar apa yang dikerjakan mendapat hasil yang baik.

Berbagai simbol, baik itu dalam bentuk pantak, gambar motif, dan lain sebagainya merupakan presentasi dari yang dilambangkan atau untuk mengungkap makna dari yang dilambangkan. Oleh karena itu bentuk instrumen itu tidak hanya dibuat tanpa maksud dan tujuan atau tidak terlepas dari apa yang dilambangkan, baik mengenai kehidupan sosial, ekonomi, adat istiadat, dan kepercayaan. Misalnya lambang salib yang melambangkan kematian kristus di kayu salib. Hanya sampai disitulah arti lambang dari perspektif dunia modern. Berbeda dengan pemikiran masyarakat Dayak Kanayatn, salib adalah representasi kritus itu sendiri, artinya ia betul-betul ada dari yang “ada” untuk membimbing kehidupan manusia menuju kebaikan dan kegembiraan, serta rela mati di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Semua itu Ia lakukan bukan tanpa sebab, melainkan atas dasar kecintaan mendalam pada umatnya. Contoh lainnya seperti lambang air yang identik dengan kehidupan dalam pemikiran manusia modern, namun dalam masyarakat Dayak Kanayatn air merupakan sesuatu yang suci dan dapat menyucikan. Kesucian ini diperlukan untuk berhubungan dengan Jubata, sehingga air bukan saja sebagai lambang kehidupan, namun sebagai presentasi religius tentang kesucian lahir batin manusia dan kehidupannya.

Nantikan artikel selanjutnya Simbol Tiga Dunia Dalam Alat Musik Dayak Kanayat.

1 komentar:

  1. Mantap, saja aja yang asli dayak kanayatn jarang memperhatikan hal ini....

    BalasHapus