Our site is moved here
Blog Mbah Dinan

Jumat, 15 Agustus 2014

Simbol Tiga Dunia dalam Alat Musik Dayak Kanayatn

Simbol tiga dunia meterial dalam musik Dayak Kanayatn dapat dilihat dari bentuk instrumen yang digunakan seperti Dau, Agukng, Gadobokng, dan Solekng. Kesemuanya itu memiliki kesamaan dalam satu bentuk global, yaitu lingkaran dan lubang. Lingkaran tersebut merupakan lambang tiga dunia dalam kepercayaan lama atau agama nenek moyang. Ia merupakan representasi religius dari tiga tahap kehidupan, yaitu lahir, menjalani hidup, dan mati. Sama halnya dengan kebulatan hubungan antara ritme, melodi, dan harmoni.

Lingkaran pertama yang terdapat pada instrumen Dau terletak pada Bujal sebagai lambang Dunia Atas. Penggambaran Dunia Atas ini sesuai dengan posisi bujal yang menempati posisi paling atas atau tempat menabuh intrumen tersebut. Lingkaran kedua terletak pada bagian tengah (dibawah bujal) yang melambangkan eksistensi Dunia Tengah atau dunia manusia. Lingkaran terakhir terdapat dibagian bawah instrumen sebagai lambang Dunia Bawah.



Keselarasan antara usaha dan tingkah laku religius merupakan dua hal penting dalam kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn. Ia merupakan sebuah tatanan kehidupan yang harus dijalankan oleh masyarakatnya. Artinya setiap tingkah laku orang Dayak Kanayatn harus disertai dengan keluhuran budi sebagai cermin ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti kata pepatah Bacuramin Ka’ Saruga yang artinya Bercermin kepada Surga.

Eksistensi tiga dunia yang digambarkan instrumen Agukng terletak pada jumlah instrumen. Kebanyakan instrumen yang digunakan dalam penyajian musik Dayak Kanayatn berjumlah tiga buah. Jumlah ini sesuai dengan konsep tiga dunia dalam kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn. Sebut saja tiga instrumen itu adalah Agukng, Kanayatn atau Katuku, dan KatukengAgukng sebagai instrumen yang karakter suaranya agung dilambangkan dengan Dunia Atas. Kanayatn menempati posisi paling tengah dianggap sebagai lambang Dunia Tengah, sedangkan Katukeng memiliki suara dan bentuk yang paling kecil diantara ketiganya dilambangkan sebagai Dunia Bawah.



Agukng memiliki karakter suara paling agung. Ia berfungsi memberi ketukan dasar atau penentu ketukan berat. Ketukan berat ini menjadi patokan jatuhnya nada dalam satu ruang birama. Ia memberi sekat terhadap permainan instrumen lain, sehingga dapat diketahui posisi jatuh nada pertama sebagai ketukan berat (nada dong). Begitu pula dalam kehidupan, Instrumen ini dapat disamakan dengan ajaran agama yang harus diikuti, diturut, dan dihayati sebagai pedoman hidup yang dijalani. Ajaran agama itu mengajarkan kepada manusia untuk berbakti kepada Tuhan, sebagai sesuatu yang mengatur dan menguasai kehidupan di jagad raya, dan sebagai tujuan terakhir dari perjalanan religius masyarakat Dayak Kanayatn. Dari sinilah hadir Dunia Atas pada kehidupan nyata sebagai penunjang keberadaan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Katuku merupakan representasi kehidupan manusia di dunia. Ia bukan hanya memiliki arti kehidupan secara harafiah, yaitu kerja, istirahat, dan makan, namun ia merupakan lambang dari tingkah laku yang menyertakan pemikiran dan perasaan untuk mencerna segala yang dilihat dan dirasakan. Manusia berpikir dan menangkap fenomena-fenomena alam yang memerlukan sebuah penghayatan dan usaha yang pada akhirnya harus ia pertanggungjawabkan kepada Jubata dan manusia lainnya.

Katukeng merupakan lambang Dunia Bawah sebagai refleksi kehidupan makhluk halus. Keberadaan alam ini tidak bisa terlepas dengan kehidupan manusia, karena pada dasarnya antara manusia dengan makhluk halus merupakan satu asal atau keturunan yang sama. Hal ini berhubungan dengan cerita Ne’ Baruakng Kulub sebagai nenek moyang orang Dayak Kanayatn dan cerita turunnya padi ke dunia (Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 21 April 2006, Dsn. Asong Pala, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip). Dalam cerita itu terdapat sebuah dunia transenden yang keberadaannya digunakan untuk mengingatkan kembali tentang asal mula, kejadian suci (ritual Baliatn), dan adat masyarakat Dayak Bukit (Dayak Kanayatn). Bukti hubungan tersebut dapat dilihat dalam upacara ritual perdukunan masyarakat Dayak Kanayatn, dimana dukun dalam upacara tersebut mendatangkan makhluk halus dari Dunia Bawah untuk membantunya melakukan pengobatan. Refleksi hubungan inilah yang diungkapkan kembali melalui instrumen Katukeng.



Simbol adat dapat dilihat pada instrumen Gadobokng. Simbol ini dinyatakan dengan posisi Gadobokng sebagai pemangku irama atau pemberi ketukan. Setiap permainan harus berpatokan pada ritme permainan Gadobokng agar tercipta keharmonisan jalinan nada-nada yang dihasilkan oleh permainan masing-masing instrumen. Begitu pula dengan kehidupan, ia harus berpatokan pada adat agar tercipta keselarasan hidup dalam bermasyarakat.

Lingkaran atas Gadobokng atau lingkaran pada membran sebagai simbol Dunia Atas merupakan representasi adat. Ia mengeluarkan bunyi sebagai simbol peraturan yang harus diturut. Lingkaran tengah (resonansi) sebagai simbol Dunia Tengah merupakan transformasi kehidupan manusia yang harus selaras dengan adat, sebagaimana keselarasan antara bunyi membran yang dipukul terhadap bunyi yang dikandung oleh resonansi, seperti kata pepatah hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Lingkar bawah (lingkar dasar) sebagai simbol Dunia Bawah adalah norma pergaulan sebagai dasar kehidupan bermasyarakat. Dari sinilah timbul sikap saling menghormati, gotong royong, dan ikatan persaudaraan yang diatur dalam hukum. Keberadaannya difungsikan sebagai penunjang hubungan sosial, sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi tenteram dan damai.





Dinamika kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn tercermin dalam Solekng yang menggambarkan alur kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn yang bersahaja dan mau menerima apa adanya. Bunyi Solekng yang mengalun indah merupakan representasi keselarasan hidup masyarakat yang berpangkal dari rasa adil dan saling menghargai. Rasa adil dan saling menghargai ini terbawa sampai orang Dayak Kanayatn hidup di luar lingkungan mereka atau hidup dengan orang lain. Mereka selalu bersyukur atas apa yang mereka dapat dan selalu menghormati segala bentuk pemberian. Seperti kata pepatah Adil Ka’ Talino yang artinya adil kepada manusia.

Alunan nada-nada Solekng merupakan penggambaran kehidupan yang selaras dengan ajaran Tuhan. Keselarasan hidup dengan nilai-nilai religi ini diaplikasikan dalam setiap napas kehidupan, baik sosial maupun ekonomi. Seperti kata pepatah Basengat Ka’ Jubata yang artinya Bernapas Kepada Jubata (Tuhan).

Setelah mengkaji instrumen dari segi filosifis, diketahui bahwa seluruh instrumen tersebut merupakan realitas tiga dunia, dimana realitas Dunia Atas dilambangkan dengan instrumen Agukng, realitas Dunia Tengah dilambangkan dengan Dau, dan realitas Dunia Bawah dilambangkan dengan Gadobokng. Dunia atas adalah tatanan nilai religius atau sendi ke-Tuhan-an yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Pedoman ini dinyatakan dalam hukum adat untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dan menjadi pondasi tingkah laku dalam kehidupan sosial, yang dilambangkan sebagai Dunia Bawah. Realitas Dunia Tengah merupakan merupakan kehidupan manusia itu sendiri yang harus selaras dengan alam dan lingkungannya dengan berpatokan pada sendi agama dan adat. Pada dunia inilah eksistensi kesatuan itu diwujudkan. Penggambaran keseluruhan hidup itu dapat dikaji dengan melihat jumlah keseluruhan lubang yang terdapat pada keempat instrumen di atas. Gabungan dari 8 lubang instrumen Dau, 7 lubang Solekng, 3 lubang Agukng, dan 1 lubang Gadobokng semuanya  berjumlah 19 lubang, ditambah satu lubang mulut untuk vokal. Kemudian 20 lubang itu dilengkapi dengan 1 bunyi sebagai hasil dari kesatuan tingkah laku musikal dari keempat instrumen tersebut. Jumlah 21 ini sama dengan jumlah suku kata yang terdapat pada pepatah (prinsip hidup) orang Dayak Kanayatn, yaitu Adil Ka’ Talino, Basengat Ka’ Jubata, Bacuramin Ka’ Saruga.



Bunyi merupakan hasil dari tingkah laku musikal manusia, seperti menabuh atau memainkan alat musik dan menyanyi. Tanpa ada tingkah laku manusia, instrumen belum berarti apa-apa atau belum menghasilkan musik. Gabungan dari tingkah laku musikal dan instrumen inilah yang menghasilkan musik, sehingga musik bukan hanya berarti hubungan nada-nada yang teratur dan membentuk suatu pola tertentu, melainkan sebagai presentasi adat dan religi masyarakatnya. Oleh karena itu bunyi yang dihasilkan sesuai dengan budaya  yang melingkupinya. Hubungan antara instrumen, tingkah laku musikal, dan bunyi (musik) merupakan representasi filosifis konsep tiga dunia yang dirangkum dan dinyatakan dalam irama musik Dayak Kanayatn.

1 komentar: