Our site is moved here
Blog Mbah Dinan

Kamis, 13 April 2017

ESTETIKA: Periode Klasik

Sebelumnya saya sudah membahas pemahaman singkat mengenai estetika. Bagi anda yang belum membacanya, sarankan baca artikel pengertian dasar ESTETIKA. Baiklah, sekarang mari kita bahas mengenai sejarah perkembangan estetika. Saya tidak menjelaskan mengenai cikal-bakal ilmu atau metode penilaian estetik, namun yang saya bahas adalah sejarah perkembangannya. Tulisan pertama ini juga saya bahas secara singkat dalam satu periode. Insya Allah kedepannya saya bahas periode lainnya secara bersambung untuk mempersingkat tulisan. Hal ini juga bertujuan untuk memudahkan pembaca memahaminya. Silahkan baca artikel sejarah perkembangan estetika periode klasik berikut ini.

Sejarah perkembangan estetika didasarkan pada sejarah perkembangan estetika di Barat yang dimulai dari filsafat Yunani Kuno. Hal ini dikarenakan estetika telah dibahas secara terperinci berabad-abad lamanya dan dikembangkan dalam lingkungan Filsafat Barat. Hal ini bukan berarti di Timur tidak ada pemikiran estetika. Pemikiran mengenai nilai keindahan di dunia timur terkait erat dengan agama dan pemahaman suatu aliran spiritual, sehingga bahasannya selalu berikan dengan masalah keagamaan. Berbeda dengan barat yang memandang keindahan suatu karya manusia dalam dalam konteks kemanusiaan dan nilai yang terkandung di dalamnya (bahasan umum).

Secara garis besarnya, tahapan periodisasi estetika barat disusun dalam delapan periode, yaitu:
  1. Periode  Klasik (dogmatik)
  2. Periode Skolastik
  3. Periode Renaisance
  4. Periode Aufklarung
  5. Periode Idealis
  6. Periode Romantik
  7. Periode Positifistik
  8. Periode Kontemporer

Periode Klasik (Dogmatik)

Dalam periode ini para folosof yang membahas estetika diantaranya adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Dari ketiga filosof ini dapat dikatakan bahwa Socrates sebagai perintis, Plato yang meletakkan dasar-dasar estetika dan Aristoteles yang meneruskan ajaran-ajaran Plato.
Dalam periode ini ada beberapa ciri mengenai pandangan estetikanya, yaitu :
  1. Bersifat metafisik: Keindahan adalah ide, identik dengan ide kebenaran dan ide kebaikan. Keindahan itu mempunyai tingkatan kualitas, dan yang tertinggi adalah keindahan Tuhan.
  2. Bersifat objektifistik: Setiap benda yang memiliki keindahan sesungguhnya berad dalam keindahan Tuhan. Alam menjadi indah karena mengambil peranannya atau berpartisipasi dalam keindahan Tuhan.
  3. Bersifat fungsional: Pandangan tentang seni dan keindahan haruslah berkaitan dengan kesusilaan (moral), kesenangan, kebenaran dan keadilan.

Socrates: 468-399SM

Socrates sebagai seorang perintis yang meletakkan batu pertama bagi fundamen estetika, sebelum ilmu itu diberi nama. Dia adalah anak dari seorang pemahat yang bernama Sophromiscos dan ibunya bernama Phainarete adalah seorang bidan. Jalan pikiran yang dipergunakan Socrates dalam mencari hakekat keindahan ialah dengan menggunakan cara dialog. Socrates menamakan metodenya ”maeutika tehnic (seni kebidanan)” yang berusaha menolong  mengeluarkan pengertian-pemgertian atau kebenaran. Socrates mencoba mencari pengertian umum dengan jalan dioalog.

Dalam dialog-dialognya Socrates membuka persoalan dengan mempertanyakan sesuatu itu disebut indah dan sesuatu itu disebut buruk. Apakah sesuatu yang disebut indah itu memiliki keindahan? Lantas apakah keindahan itu? Disini Socrates mencoba merumuskan arti keindahan dari jawaban-jawaban lawan dialognya.

Menurut Socrates, keindahan yang sejati itu ada di dalam jiwa (roh). Raga  hanya merupakan pembungkus keindahan. Keindahan bukan merupakan sifat tertentu dari suatu benda, tetapi sesuatu yang ada dibalik bendanya itu yang bersifat kejiwaan.

Plato: 427-347SM.

Menurut Plato keindahan itu bertingkat., untuk mencapai keindahan yang tertinggi (keindahan yang absolut) melalui fase-fase tertentu (Wajiz Anwar, 1980). Fase pertama, orang akan tertarik pada suatu benda/tubuh yang indah. Disini manusia akan sadar bahwa kesenangan pada bentuk keindahan keragaan (indrawi) tidak dapat memberikan kepuasan pada jiwa kita. Setelah  kita sadar bahwa keindahan dalam benda/tubuh itu hanya pembungkus yang bersifat lahiriah, maka kita tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang lahiriah. Manusia akan meningkatkan perhatiannya pada tingkah laku hal yang dicintai, yaitu pada norma-norma kesusilaan (noma moral) secara konkrit. Hal ini terlihat dalam tingkah laku dari orang/hal-hal yang kita cintai.

Dalam fase kedua, maka kecintaan terhadap norma moral secara konkrit  ini berkembang menjadi kecintaan akan norma moral secara absolut yang berupa ajaran-ajaran tentang kesusilaan/bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku yang baik.

Dalam fase ketiga, orang akan mengetahui jurang yang memisahkan antara moral dan pengetahuan, dan orang akan berusaha untuk mencari keindahan dalam berbagai pengetahuan. Orang Yunani dulu berbicara tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Kalaui manusia sudah sampai pada fase yang ketiga ini maka akan mengantarkan manusia pada fase  yang keempat yaitu keindahan yang mutlak/absulut. Disinilah orang berhasil melihat keindahan mutlak, yang sesungguhnya indah, keindahan universal dan maha tingggi. Dan disinilah  segala sesuatu berasal dan kesitu pula segala sesuatu harus kembali.

Seni

Seni yang baik menurut Plato adalah seni musik. Musik mempunyai peranan yang penting dalam negara yaitu dapat mempengaruhi dalam bidang moral dan politik. Di bidang moral, musik dapat memperhalus perasaan manusia (musik yang sentimentil) dan dapat juga sebaliknya.

Dibidang politik, musik dapat mengubah jiwa patriotik dan kecintaan terhadap tanah air. Selain seni musik, maka retorik atau seni berpidato merupakan seni utilitary (seni dimana segi kegunaanya diutamakan, bukan keindahan, kebenaran atau kebijaksanaanya) maka seni ini lebih berguna bagi kaum politisi, yang bertujuan untuk menggalakkan orang lain dalam mengikuti tujuan akhirnya. ”Selalu pergunakanlah retorik dengan keadilan” adalah suatu anjuran yang akhirnya  Plato mengakui untuk eksistensinya, yakni untuk kemungkunan-kemungkinan didaktif. Problem hubungan antara seni dan pendidikan telah diungkapkan dalam bukunya Republik, tetapi ketika timbul lagi dalam Laws, tidak ada lagi sugesti untuk mengutuknya. Malah sebaliknya disini Plato secara tegas menguatkan keterangan hubungan satu sama lainnya. Musik, tarian dan nyanyan koor sangat terpuji karena nilai pendidikannya, dan tanpa banyak kesusahan lagi seni kini menjadi guru utama kehidupan.

Pembalikan yang sangat tajam konsep Plato ini disebabkan adanya hubungan harmonis antara seni dan kehidupan, sebagai akibatnya dia membukakan pintu perhatian adanya kemampuan mendidik pada retorik dan adanya sintesis dalam instruksi dan kesenangan, yang kemudian mewataki teori paedagogik seni. Konsekueninya tentang konsepsi seni sebagai gabungan antara yang baik, benar dan yang indah  (Abdul Kadir, 1974:10).

Seniman

Di dalam bukunya ”Republik”, Plato mempunyai pendapat yang tidak begitu ramah terhadap seniman. Negarawan mendapat tempat (penghargaan) yang lebih tinggi diantara manusia-manusia pencipta atau seniman, karena mereka menimbang masyarakat berdasar ide kebaikan, keadilan, kebenaran, dan keindahan. Seniman hanyalah meniru ide keindahan yang ada di dunia ini yang merupakan penjelmaan dari keindahan absolut/illahi yang ada di dunia idea. Seniman yang sejati adalah Demiurgus (Tuhan) yang menciptakan alam semesta sebagai imitasi dari idea bentuk yang abadi. Diantara seniman-seniman yang ada, Plato mempunyai pandangan positif terhadap sastrawan dan penyair.

Sastrawan

Tulisan-tulisan Plato termasuk sastra Yunani Klasik yang ditulis dengan gaya bahasa yang indah sekali. Dalam dialog yang berjudul ”Symposium” ia berpendapat bahwa suatu uraian lisan yang memakai gaya bahasa yang indah disebabkan oleh karena pengaruh seorang dewa,si pembicara itu sedang kemasukan roch seorang dewa.Disini Plato secara implisit menyinggung teori ”partisipasi”,seorang sastrawan dapat menulis dan berdendang dengan indah sekali karena ia ”ämbil bagian”dalam pandangan dan alam para dewa,ia seolah-olah diangkat diluar dirinya sendiri(ekstasis),diatas awan,dialam idea-idea ,melihat keadaan yang sebenarnya (Dick Hartoko,1983:31-32).

Penyair

Syair-syair yang indah itu bukan karya manusia, tetapi adalah syair surgawi dan ciptaan Tuhan.Parapenyair tersebut hanyalah merupakan penafsir Tuhan.Lewat teori ”partisipasi”maka seorang penyair yang rendah martabatnya dapat membawakan nyanyian-nyanyian yang terindah.Para penyair memiliki ”kekuatan misterius”yang bersifat Illahiah.Seniman tidak lagi mengimitasi ,tetapi sebaliknya ia memperoleh inspirasi yang karenanya merupakan bagian dari Illahi(Abdul Kadir,1976:7).

Aristoteles: 384-322 SM.

Keindahan dianggap sebagai suatu kekuatan yang memiliki berbagai unsur yang membuat sesuatu hal yang indah.  Dalam bukunya Poetics, Aristoteles mengatakan ”untuk menjadi indah, suatu makhluk hidup dan setiap kebulatan yang terdiri atas bagian-bagian harus tidak hanya menyajikan suatu ketertiban tertentu dalam pengaturannya dari bagian-bagian, melainkan juga merupakan suatu besaran tertentu yang pasti. Menurut Aristoteles unsur-unsur keindahan dalam alam maupun pada karya manusia adalah suatu ketertiban dan suatu besaran/ukuran tertentu (The Liang Gie, 1996:41).

Seni

Menurut Aristoteles, seni adalah kemampuan menciptakan sesuatu hal atas pikiran akal. Seni adalah tiruan (imitasi) dari alam, tetapi imitasi yang membawa kepada kebaikan. Walaupun seni itu tiruan dari alam seperti apa adanya, tetapi merupakan hasil kreasi (akal) manusia. Seni harus dapat menciptakan bentuk keindahan yang sempurna, yang dapat mengantarkan manusia menuju keindahan pada keindahan yang mutlak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar