Our site is moved here
Blog Mbah Dinan

Sabtu, 22 April 2017

Estetika Cina Menurut Tao

Pembahasan estetika (keindahan) menurut pandangan bangsa Cina cenderung merujuk pada kepercayaan Tao yang membawa pengaruh luas terhadap perkembangan kebudayaan, termasuk falsafah tentang keindahan. Pandangan mengenai keindahan ini erat kaitannya dengan kepercayaan Tao yang seakan secara mutlak menjadi rujukan seniman untuk berkarya, sehingga nilai religi yang mengagungkan kesucian sangat terlihat jelas dalam karya-karya pada jaman tersebut. Adapun beberapa pandangan tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikut ini.

Pandangan Keindahan di Cina

Bangsa Cina di dalam peradabannya menganut kepercayaan bernama Tao yang dianggap sumber dari nilai-nilai kehidupan. Secara harafiah Tao  berarti jalan atau marga. Ada pula yang mengartikan Tao sebagai sinar terang dan sumber dari segala sumber yang ada. Bagi bangsa Cina, manusia dianggap sempurna apabila hidupnya diterangi oleh Tao. Tao dianggap kemutlakan, sesuatu yang memberikan keberadaan, kehidupan, dan kedamaian. Kepercayaan inilah yang menjadi salah satu landasan estetika Cina. Barang-barang buatan manusia dianggap indah apabila dinafasi oleh Tao.

Penjelasan konsep keindahan bangsa Cina yang disemangati oleh kepercayaan Tao diperoleh melalui ungkapan salah seorang filosofnya yang juga dianggap nabi, yaitu Kong Hu Cu. Filosof ini menyatakan bahwa,
"Bagaimana seseorang yang rusak dan bejad hidupnya mampu membuat barang-barang yang indah, padahal barang-barang yang indah adalah penjelmaan dari Tao".
Oleh karena itu, tugas seniman adalah menangkap Tao atau roh tersembunyi di dalam segala sesuatu yang ada dan menampilkannya lewat karya seninya. Untuk itu, seorang seniman wajib mensucikan diri supaya mampu melihat, menyentuh, serta menangkap roh tersembunyi di dalam barang-barang lewat kontemplasi (dengan kata lain mempunyai kesadaran Tao), dan dengan demikian ia akan mampu menciptakan keindahan.

Penjelasan di atas cukup memberikan pemahaman bahwa konsep keindahan bangsa Cina berlandas pada kepercayaan Tao. Namun demikian, keindahan pada sebuah karya tidak dipandang sebagai totalitas yang sempurna. Potensi buruk dianggap selalu hadir pada karya yang indah. Demikian pula sebaliknya, pada karya yang buruk dipandang memiliki potensi keindahan. Pandangan ini dibentuk oleh filsafat Yin dan Yang, yang dianggap mengandung seluruh aspek kehidupan manusia. Filsafat Yin dan Yang disimbolkan dengan sebuah lingkaran yang mengandung dua unsur, seperti gambar di bawah ini.

Bagian hitam menyimbolkan Yin sedangkan bagian putih menyimbolkan Yang. Di dalam Yang ada titik Yin. Demikian pula sebaliknya, di dalam Yin ada Yang. Titik ini dipandang memiliki daya yang luar biasa, yakni adanya kontradiksi inti yang ada di dalam segala sesuatu. Artinya, tidak ada sesuatu yang seluruhnya (100 %) baik atau buruk, tak ada sesuatu yang seluruhnya indah atau jelek. Titik Yin atau Yang yang terdapat di dalam masing-masing unsur tersebut sebenarnya adalah sesuatu benih yang dapat berkembang di dalam kondisi yang berlawanan.
Filsafat Yin dan Yang menunjukkan bahwa estetikapun pada akhirnya selalu relatif. Di dalam jiwa manusia yang gersang rasa keindahan sesungguhnya masih mungkin dihidupkan roh keindahannya apabila yang bersangkutan mempunyai kekuatan untuk mengubahnya. Sebaliknya, mereka yang berbakat menciptakan keindahan justru dapat kehilangan daya estetiknya apabila kemampuannya tidak pernah dimanfaatkan.
Pada akhir abad V, Hsieh Ho seorang filosof Cina menyusun enam prinsip sebagai dasar bagi para seniman bekerja yang kemudian terkenal dengan istilah canon estetika Cina.
  1. Ch'l Yun Sheng Tung, yaitu bersatunya Roh semesta dengan dirinya sehingga ia mampu menangkap keindahan (dari Tao) dan kemudian menampilkan atau mewujudkan pada karyanya.
  2. Ku Fa Yung Pi, yaitu kemampuan menyerap Roh  Ch'l atau roh kehidupan dengan cara mengesampingkan bentuk dan warna semarak, sehingga warna spiritual akan tampak dalam karya-karyanya. Refleksi prinsip ini tampak pada beberapa lukisan Cina saat itu, yang penuh dengan ruang kosong dan kesunyian. Seorang pelukis Cina, Tsung Ting (375-443) disebutkan sebagai gambaran bahwa, sebelum melukis pemandangan alam, ia terlebih dahulu melakukan meditasi agar rohnya menjelajahi alam semesta secara bebas.
  3. Ying Wu Hsiang Hsing, yaitu merefleksikan objek dengan menggambarkan bentuknya: yakni konsekuen terhadap objek atau yang disusunnya. Kaitannya dengan itu, Ch'eng Heng-lo pernah mengatakan, "Seni lukis Barat adalah seni lukis mata, sedangkan seni lukis Cina adalah seni lukis idea". Ungkapan itu jelas menunjukkan bahwa seni lukis Cina mementingkan esensinya, bukan eksistensinya.
  4. Sui Lei Fu Ts'ai, yaitu keselarasan dalam menggunakan warna. Seni lukis Cina dalam penggunaan warna tidak bersifat fungsional, tetapi lebih bersifat simbolisme.
  5. Ching Ting Wei Chih, yaitu pengorganisasian, penyusunan, atau perencanaan dengan mempertimbangkan penempatan dan susunan. Seni Cina menganjurkan mengadakan semacam perencanaan terlebih dahulu sebelum berkarya.
  6. Chuan Mo I Hsieh, yaitu hendaknya membuat reproduksi-reproduksi agar dapat diteruskan dan disebarluaskan.
Dari enam prinsip tersebut dapat terlihat semangat Tao dalam pandangan estetika Cina begitu mendalam dan menyebar ke berbagai negara di sekitarnya hingga sekarang.



Sumber foto http://tikarmedia.or.id/picture/picture_detail/2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar